Orang Jawa Dan Diskriminasi Rasis Terhadap Orang Papua


Sumber foto: Pada saat penangkapan mahasiswa Papua di Jogja (Foto: Dok. Prib Lobato/KM)

Oleh: Natanael Lobato

Artikel, (KM). Saya juga menonton mahasiswa dihadang polisi saat hendak melakukan aksi damai pada tanggal 15 Juli 2016; serta kalimat rasis yang diucapkan Polisi indonesia dan ormas reaksioner kepada adik-adik mahasiswa Papua di Asrama Kamasan I Jl. Kusumanegara Yogyakarta.

Melihat foto dan video serta teriakan meminta tolong melalui sosial media seperti facebook kepada kami di Papua sebagai orang tua mereka yang jaraknya sekian ribu kilometer, tentu kami tidak bisa menolong mereka.

Rakyat Papua Barat yang saat ini memperjuangkan hak-hak demokratiknya selalu saja diperhadapkan dengan moncong senjata, penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan, teror intimidasi, sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari rakyat Papua pengeksploitasian sumber daya alam tidak pernah berhenti, yang kemudian mengakibatkan ribuan hektar tanah rakyat Papua hilang dirampas kapitalis dan korporasi Imperialisme.

Pertanyaannya, apakah kami, aktivis untuk kemerdekaan Papua yang bagian dari rakyat Papua akan tinggal diam dan membiarkan penderitaan rakyat terus terjadi? Tidak! Kami tidak akan pernah diam dan berhenti melihat rakyat Papua dan alam Papua dihancurkan oleh manusia bertangan besi yang rakus dan durjana.

Kami sadar bahwa kami juga manusia, sama dengan manusia lainnya, kami sadar bahwa kami juga manusia bebas yang punya hak untuk mengatur hidup di atas bumi Papua. Di tempat dimana kami berada, kami akan terus memperjuangkan hak-hak demokratik rakyat Papua Barat, hingga tercapainya kemerdekaan sejati, kemerdekaan yang hakiki.

Kawan-kawan dan para saudara Papua tentu tidak mau terus hidup dalam Indonesia rasis dan fasis. Penderitaan dan penghinaan yang merata, yang menimpa seluruh lapisan rakyat Papua, mempererat persatuan seluruh rakyat dalam perlawanan terhadap kolonialisme Indonesia di Papua.

Orang orang Jawa berusaha menguasai Papua demi menyebar diskriminasi rasis dengan mereka menyingkirkan suku-suku pemilik ulayat dengan alasan pembangunan. Militer dikuasai dan dipakai untuk menguatkan posisi diskriminasi dan rasis. Begitu juga pemerintah dan hukum dipakai sebagai alat menguasai dari kaum ini.

Mulai hari itu,kami semakin yakin bahwa, orang Jawa ternyata membuat lemah lembut diri mereka dengan mereka sedang membawa benih diskriminasi rasis yang meluap-luap. Mereka berusaha mengendalikan diri mereka dengan menutupi semua kejelakan dan kejahatan mereka. 

Banyak orang Barat (kulit putih) tertipu dengan kelemah-lembutan mereka, sehingga sering mereka menyebut mereka dengan manusia lemah-lembut. Padahal, banyak kekurangannya. Dimana mereka masih menyebut bangsa lain warga kelas dua, tutup mata terhadap penindasan negara dengan menguatkan posisi penindasan.

Mengaku diri mereka lemah-lembut, padahal dalam diri mereka menyala api haus darah dan kekuasaan. Mereka tidak menghargai demokrasi dan keberagaman hidup.

Mereka dibeli dengan kata nasionalisme Indonesia yang dalam implementasinya penuh KKN, sehingga kepintarannya digadai dan menjadi budak para pengguna budaya lemah lembut, etika dan psikologi serta bahasa dan moral kamu plase.

Mari kami menyikapi diskriminasi, kebebasan menyampaikan pendapat melalui nilai-nilai demokrasi yang universal di negeri ini dengan menjaga kelompok lemah-lembut “kabualan” yang lagi menindas kebebasan manusia dengan diskriminasi rasis yang terjadi dengan berkaca pada pengepungan Asrama Mahasiswa Yogyakarta 14-16 Juli 2016 oleh kelompok Ormas reaksioner bersama TNI/PORLI.

aksi tersebut, telah melebihi batas kewajaran dalam pengamalan nilai kemanusiaan, dimana tindakan kekerasan dalam bentuk fisik maupun psikis dilontarkan oleh aparat keamanan dan ormas ini.

Lantas, dimana peran negara yang seharusnya menjamin kehadirannya dalam pendampingan kebebasan berpendapat, dan melindungi hak-hak dasar kemanusiaan?

Pengepungan, pemukulan, dan penyiksaan terhadap kawan- kawan Papua tanpa perlawanan merupakan bentuk represifitas militer yang sangat tidak manusiawi.

Sebagai orang Jawa, anda tidak akan berurusan dengan polisi selebar apapun Anda membentangkan spanduk referendum untuk Jogja atau khilafah menyelesaikan semua problem mahasiswa dari skripsi hingga perasaan. Tak akan ada yang mengumpat Jawa atau dasar Muslim. Sekalipun anda merusak fasilitas umum dan memblokir jalan Solo. Toh kalaupun Anda bukan orang Jawa, mayoritas etnis di Indonesia, anda tetap saja berkulit sawo matang, kulit Melayu kebanyakan.

Beda nasib jika Anda dari Papua. Mustahil menyamar sebagai orang Melayu. Orang akan meneriaki anda babi, anjing, monyet, pemabuk, perusuh, kafir, dan akhirnya, ‘separatis!’ biarpun anda berdemo dengan tertib.

Menghadapi Prabowo dalam pemilu presiden 2014, tak banyak pula tersedia pilihan bagi orang Papua kecuali mencoblos Jokowi, yang berjanji memecahkan seabrek masalah di Papua dengan dialog, namun setelah terpilih memberlakukan kembali ‘ABRI masuk desa’ demi proyek-proyek perampasan lahan MIFEE.

Saudara sedang berhadapan dengan stigma, dan apapun yang saudara lakukan stigma ini tidak akan ke mana-mana. Stigma berarti warna kulit dan rambut saudara cukup untuk menarik kesimpulan tentang kejahatan yang mungkin saudara lakukan, alkohol yang mungkin saudara konsumsi, dan kekosongan otak saudara. Ini memang posisi yang canggung karena ini berarti sebagai orang Papua, apapun tindakan saudara adalah tindakan simbolis. Ketika saudara berpakaian, berperilaku, bernafas, saudara entah sedang membuktikan bahwa saudara sehina orang Papua lain, atau bahwa saudara pengecualian. Saudara bisa saja menjadi makhluk mistis itu; orang Papua yang tidak seperti orang Papua yang lain.

Ini memang tidak adil, tapi yah, namanya juga rasisme.

Kawan-kawan dan para saudara Papua tentu tidak mau terus hidup dalam Indonesia rasis dan fasis. Penderitaan dan penghinaan yang merata, yang menimpa seluruh lapisan rakyat Papua, mempererat persatuan seluruh rakyat dalam perlawanan terhadap kolonialisme Indonesia di Papua.

A Luta Continu. Terus barjuang! Resistir E Vencer. Bertahan sampai titik darah penghabisan. Hidup dan jayalah tanah Papua. Kita harus mengakhiri.

Sumber: Dinding facebook, Nataneal Lobato

(Penulis adalah Natanael Lobato, seorang aktivis yang peduli terhadap pelanggaran HAM di tanah Papua)




Editor: Helena Kobogau

Posting Komentar

0 Komentar