Foto Adele |
Di tengah semrawutnya kondisi sosial politik di bumi Cendrawasih, ada satu sosok wanita yang berani menentang arus dan membuat perubahan. Hana Salomina Hikayobi, namanya. Wanita kelahiran 7 Juni 1966 ini memakai tulisan sebagai medium pergerakan untuk menyuarakan kaumnya yang selama ini dibungkam oleh sistem sosial, budaya, dan politik yang tidak berpihak kepada wanita. Sederet perubahan dibuatnya, tapi bagi penerima penghargaan SK Trimurti tahun 2015 lalu, perjuangan masih panjang!
JALAN GERILYA
Karier politiknya berawal saat ia terjun sebagai Majelis Rakyat Papua (MRP). Ia pernah menjadi Wakil Ketua II MRP (2006-2011), meski kemudian ditolak oleh Menteri Dalam Negeri (saat itu Gamawan Fauzi), menjadi anggota MRP periode 2011-1016 dengan tuduhan makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masih lekat di ingatannya saat asap pekat akibat kebakaran hotel memenuhi kamar tempatnya menginap bersama sang suami di Papua Barat. Ketika kembali ke kamar, beberapa barang tidak bisa diselamatkan dan kamera yang mendokumentasikan diskusi bersama masyarakat adat tentang sebuah upaya mediasi, hilang,” kisah Hana. Meski tidak jelas apakah kebakaran itu disengaja atau tidak, hingga kini ia tidak menerima klarifikasi tentang kejadian tersebut.
Waktu itu, ia diminta datang oleh masyarakat adat setempat untuk menjadi penyambung lidah dalam upaya mediasi dengan salah satu perusahaan penambangan batu bara milik asing. Masyarakat lokal ingin lebih dilibatkan. Tidak hanya dijadikan sebagai office boy atau pencuci pakaian, tapi juga diberi kesempatan yang layak, termasuk mendapatkan bagian dari saham atas hasil tambang yang dikeruk dari bumi mereka.
Peristiwa itu hanyalah segelintir saja dari berbagai risiko yang harus dihadapinya sebagai aktivis yang banyak menyuarakan hak-hak rakyat Papua, terutama kaum wanita. Di dunianya ini, Hana tak banyak duduk di balik meja, tapi turun ke bawah, bertemu masyarakat untuk mendengar apa yang menjadi aspirasi dan kebutuhan mereka. Hal-hal yang harus ia perjuangkan.
Otonomi khusus daerah di tahun 2001 era reformasi menjadi salah satu pembuka jalan baginya untuk bergerak dan menciptakan ruang bagi wanita di Papua. Di kesempatan inilah ia mengumpulkan beberapa aktivis perempuan, baik itu yang fokus mengurusi HAM, mereka yang bekerja sebagai PNS, aktivis gereja, aktivis lingkungan dan komunitas lokal yang ada di kampung-kampung.
“Kami sama-sama membangun komunikasi, dan melakukan pertemuan-pertemuan untuk mengumpulkan persepsi. Hingga akhirnya kami melakukan deklarasi bahwa nasib perempuan ada di tangan perempuan juga,” ungkap Hana. Bentuk nyata dari deklarasi itu adalah terbitnya Tabloid Suara Perempuan Papua (TSPP) pada 6 Agustus 2004, dengan edisi perdana 1.500 eksemplar.
Nama tabloid itu sengaja diambil karena suara dan pembangunan bagi wanita dan anak-anak sangat terabaikan. Ia memilih media sebagai alat yang dapat menghubungkan suara masyarakat dan ikut menjadi penentu bagi arah kebijakan. “Perempuan dan laki-laki duduk bersama menghasilkan suatu keputusan. Itulah ukuran keadilan yang kami nantikan dan perjuangkan saat ini,” ungkapnya. Menurutnya, jika porsi keberpihakan ini tertata ulang dengan baik, maka masa depan yang mereka impikan itu akan terjadi.
Melalui TSPP, ia mengajak para wanita pedagang pasar untuk memperjuangkan hak atas kehidupan yang layak lewat berbagai bantuan modal. Tabloid ini juga wanita untuk berani melangkahkan kaki ke dunia birokrasi atau berkarier di dunia legislatif, yang pada waktu itu hanya bisa dihitung dengan satu atau dua jari.
Tak berhenti di situ, demi melengkapi para wanita di Papua, Hana dan rekan-rekan sekerjanya kerap mengadakan kelas-kelas pelatihan menulis atau jurnalistik kepada wanita-wanita lokal. Apabila selama ini para wanita di Papua hanya bisa mengobrolkan apa yang terjadi di antara sesamanya, maka Hana menantang mereka untuk memindahkan apa yang mereka lihat, kecap, dan rasakan itu ke dalam bentuk tulisan. Apakah itu absennya akses terhadap pendidikan dan kesehatan, kehidupan ekonomi yang memprihatinkan, atau penderitaan mereka sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Saya yakin bahwa membaca dapat mengubah mindset seseorang yang nantinya dapat menjadi kekuatan yang membawa perubahan. Mungkin tidak dalam satu atau dua tahun, tapi kami percaya perubahan itu akan terjadi,” ujarnya, dengan keyakinan tinggi.
Harapan Hana berangsur menjadi nyata. Tabloid ini berhasil merebut hati masyarakat Papua dengan berita-beritanya yang lugas dan berani menyuarakan politik, hukum, kesehatan, lingkungan hidup, dan pendidikan yang masih belum memberikan akses dan ruang berekspresi serta berpendapat bagi wanita di Papua. Tidak heran jika di tahun 2004 tersebut terjadi gerakan yang luar biasa terbangun dalam kehidupan berdemokrasi, terutama di antara kaum wanitanya.
Beberapa alumni pelatihan jurnalistik yang pernah diadakannya banyak yang berhasil mengembangkan karier profesionalnya di dunia jurnalistik. Beberapa ada yang sudah bergabung di RRI, media televisi, dan media-media lain di Wamena. Tak sedikit juga yang bergabung di media ternama seperti Tempo.
BEKAL JIWA PENDIDIK
Meski tak pernah dituntut untuk kuliah hingga ke jenjang tinggi, setelah merampungkan jenjang sarjana di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cendrawasih, Hana melanjutkan ke program Pasca Sarjana Kebijakan Publik di universitas yang sama. Ia sempat berkarier sebagai staf di bagian pembinaan LP Anak Pria di Tangerang (1996-2001). Di kesempatan itu ia juga dipercaya untuk mengajar di SMU Istimewa, yang murid-muridnya adalah para penghuni LP yang masih di usia sekolah.
“Bapak saya seorang guru. Sejak kecil beliau selalu menekankan pentingnya bagi kami untuk sekolah dan menimba ilmu sebanyak mungkin,” ungkap Hana, saat mengisahkan keluarganya. Dalam kebersahajaan hidup, ia dan ketujuh saudara saudarinya bisa merampungkan sekolah. “Dengan belajar, kamu bisa mencapai masa depan yang lebih baik,” begitu nasihat bapaknya, kembali terngiang di telinganya.
Nasihat ini pula yang meyakinkan dirinya untuk terus membawa pencerahan bagi wanita dan anak-anak di Papua. Ia banyak membangun taman bacaan di kampung-kampung, dan sebisa mungkin mengawal pendidikan anak-anak di wilayah pelosok, termasuk merawat gedung-gedung sekolah. Suatu kali, ia mengundang salah satu pimpinan dinas pendidikan saat itu untuk menilik salah satu sekolah yang mereka rawat.
“Jalan menuju lokasi sekolah itu penuh dengan lubang, dan jika hujan lumpurnya bisa sampai ke pinggang,” ujar Hana, menceritakan kondisi akses pendidikan yang menyedihkan di tanah Papua. Menghadapi medan yang berat ini, pejabat dinas yang awalnya berpakaian rapi itu mulai mencopot jasnya. “Kami sengaja mengajaknya melewati ruas jalan itu supaya akses menuju sekolah cepat diaspal,” ujar Hana, tertawa.
Dari yang pernah menjabat Wakil Ketua II di MRP, kini ia dipercaya sebagai Kepala Bapedda Kabupaten Jayapura. Secara garis hierarki birokrasi, maka posisi Hana yang tadinya setingkat dengan Gubernur Papua, kini justru menjadi turun. Tetapi, menjadi bagian rantai birokrasi dengan posisi strategis justru membuatnya punya peluang lebih besar dalam membuat perubahan.
“Saya ubah strategi untuk mendorong perekonomian rakyat, mendorong para wanita yang sering menjadi korban KDRT untuk mandiri secara ekonomi sehingga bisa menyekolahkan anak-anak mereka,” ujar Hana, yang di tahun 2011 ikut mendirikan sebuah koperasi untuk membantu wanita-wanita yang ditinggalkan suaminya. Selain fungsi simpan pinjam, koperasi ini juga dilengkapi toserba yang menjual sembako dengan harga miring.
Bagaimanapun, ia mengakui bahwa menjadi penyambung lidah akar rumput, sekaligus menyirami mereka agar tumbuh menjadi kuat dan berdampak, bukan hal yang mudah. Ketika ia berbicara dengan berpihak kepada rakyat, ia tetap dilihat miring juga oleh pemerintah. Tapi, baginya itu sudah risiko. “Kalau bukan kami, siapa lagi yang mau bicara? Saya harus bisa menjalankan tugas ini dengan tanggung jawab saya kepada negara, Tuhan, dan rakyat. Itu prinsip yang saya pegang. Saya tidak mau terbeli dengan apa pun,” tegas Hana. (f)
Naomi Jayalaksana
0 Komentar