Ilustrasion - West Papua Flag "Morning Star" |
Selamat datang klonial baru -- istilah ini yang cocok bagi Indonesia yang harus di beri nama. Malapetaka politik 1965-66 membawa momentum baru bagi kekuatan bersenjata (Militerisme) untuk menunjukan taring serigalanya setelah usai menghisap dan memangsa manusia ratusan ribu bahkan 3 juta lebih rakyat Indonesia tak berdosa yang di kerjakan dengan penuh semangat membabi-buta selama 18 bulan pada akhirnya dapat memimpin Indonesia dengan nama Indonesia tentara, Indonesia klonial, Indonesia pembunuh, Indonesia maling pendompleng, Indonesia tak tahu malu.
Setelah rezim Militerisme (Orde Baru) tuan HARTO Memimpin Indonesia sebagai bukti kemunduran dan pemberangusan kebudayaan rakyat Indonesia (Budaya melawan) penjajahan baik yang di lakukan oleh Imperialisme maupun Borjuis Nasional sebagai agen Imperialisme, waktu yang tak cukup singkat (32) tahun bukanlah waktu yang sekali berkedip mata kehilangan sudah pembunuhan atau istilahnya merdeka dan bahagia bagi rakyat Indonesia.
Apalagi -- aneksasi yang di lanjutkan oleh kekuatan Imperialisme-Militerisme sangatlah signitifikasi dalam memuluskan keinginan Imperealisme sebagi bukti komitmen dan ketidak raguan stikma Indonesia secara negatif kepada Imperialisme. Pembuktian ini di laksanakan dengan menyetujui penanaman saham dan pengamanan industrialisasi (PT FREEPORT) Pertama kali sejak di keluarkan peraturan kontrak karya I pada 7 April 1967 di wilayah rakyat dan bangsa West-Papua oleh Indonesia. Secara hukum boleh di bilang suatu kebijakan yang sah-sah Sajah dari versi Indonesia tetapi tak bisa di sahkan oleh versi Rakyat Dan bangsa West-Papua, kenapa ? Karena Papua pada tahun 1967 belum di akui termasuk dalam wilayah Indonesia -- pengakuan itu baru keluar saat paksaan yang di lakukan oleh Indonesia lewat intimidasi, kekerasan, Pemenjaraan, pembunuhan, dll. dari satu momentum ilegal tanpa ada ruang demokrasi (Matinya demokrasi) dengan instrument persetujuan pendapat rakyat (PAPERA) Pada dekade 1969 yang kurang lebih dari 600.000 jiwa rakyat Papua dewasa hanya berkesempatan mengikuti mekanisme memasukkan Papua ke Indonesia 1025 orang itupun Tidak secara keseluruhan melainkan 175 orang, atau 0,4℅.
Hal ini menunjukan fakta karakter klonial dan Imperialisme Indonesia sebenarnya. Dampak dari aneksasi dan mengklonialis Indonesia terhadap bangsa West-Papua juga tak bisa di lepas-pisahkan dari Indonesia pada kekuasaan rezim Fasis anti demokrasi turut pula menjadi kaki tangan Imperialisme, dalam memuluskan proyek (PT FREEPORT) Yang turut sebagai dalang Kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat (Secara barbar dan ekstrim) yang di alami bangsa West-Papua. dari hitungan pertama kali beroperasi di wilayah Papua (Fakta yang menimpa SUKU KOMORO DAN AMUNGME) sekitar 30.000 lebih harus menjadi tumbal kebingisan dan kejahatan Indonesia dan imperalisme. Keberadaan Freeport dan Indonesia di tanah Papua tak turut hentinya membanjiri korban pelanggaran Kemanusiaan (Pembunuhan, pemerkosaan, pembungkaman demokrasi, penculikan, penembakan secara liar oleh TNI-POLRI, penyiksaan, perampokan, dll) sampai saat ini masih berlangsung.
Sejarah penipuan dan pembodohan Masi di langgengkan dari idiologi Nasionalisme sempit, meskipun setelah HARTO Dan kekuatannya di tumbangi oleh gerakan demokratik 1998 oleh gejolak kemuakkan rakyat akibat kontradiksi ekonomi politik, sosial dan budaya yang di tumpangi rezim berimbasnya kepada kalangan rakyat menunjukan satu bukti bahwa rezim sesudah HARTO Juga Masi turut melanjutkan politik Militerisme sampai saat ini. Karena pembodohan dan penipuan sejarah berdiri tegak di atas tengkorak dan nasib bangsa West-Papua maka Indonesia sendiri dalam posisi kenegaraan seharusnya mengakui secara sadar bahwa keberadaan Indonesia di wilayah Papua hanyalah sebagai maling dan penjajah bukan sebagai ibu penyelamat seperti istilah SOEKARNO Tempo Doeloe.
Oleh: Rudhy Pravda
0 Komentar