Sejarah Papua menceriterakan, perempuan Papua sejati adalah Roh yang memberikan kehidupan bagi bangsa Papua.

Oleh: *Fanny Quinea Kogoya*

Bentuk kehidupan yang berlaku di lingkup komunitas suku-bangsa di dunia, di mana sistem kekerabatan patrineal juga dikenal dalam kalangan masyarakat Papua. Sistem patrineal yang dipahami umum adalah dominasi peran para kaum dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Pandangan yang memengaruhi sistem ini adalah paternalisme. Paternalisme menempatkan posisi kaum Hawa tidak lebih dari perut pelengkap kaum Adam.

Contoh yang paling jelas terlihat dalam sistem perkawinan di Papua. Marga menyanyikan istri dilebur ke dalam marga suami. Tidak hanya itu Posisi perempuan sendiri di mata laki-laki Papua secara turun temurun, telah menjadi sebuah sistem yang baku. Hal itu sulit terhapus begitu saja tanpa proses perkembangan kebudayaan.

Pandangan ini dipercaya masyarakat tradisional sebagai takdir, jadi tidak diakuinya sebagai sebuah penindasan. Sementara dalam masyarakat modern, sistem seperti itu dipandang sebagai bentuk kekerasan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Dengan demikian, banyak organisasi pemerintah dan non pemerintah melakukan upaya penghapusan dominasi peran laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai aspek di setiap negara.

Simone de Beauvoir, seorang wanita Prancis, dalam bukunya " The Second Sex" , karena "sejak masa patriakal, perempuan secara umum telah ditempatkan pada posisi kelas kedua di dunia yang ada prestasinya dengan laki-laki".
Kondisi itu lebih terarah pada kekuatan lingkungan pendidikan dan budaya yang secara sengaja dikontrol dan dikuasai oleh laki-laki. Keberadaan ini tergabung dalam perempuan yang bebas dan merdeka sebagai relasinya dengan kaum laki-laki.

Teori di atas bila terobsesi dengan relasi perempuan dan laki-laki Papua, maka menemukan laki-laki Papua masih dominan dalam hal yang menjadi tujuan dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi ini diperkuat dengan adanya realita dalam kehidupan masyarakat tradisional di Papua yang menempatkan laki-laki sebagai penopang keluarga. Seorang laki-laki bertanggungjawab dalam menyediakan kebutuhan hidup keluarga.
Pandangan kehidupan masyarakat tradisional Papua terhadap laki-laki sebagai superpower dapat dilihat dari kekuatan fisik dan kemampuan laki-laki dalam menjalankan musuh (pada saat perang antar suku). Lenyap, dalam realita kehidupan masyarakat tradisional Papua, laki-laki-manusia.

Contohnya, seperti beberapa hal yang terjadi dalam kehidupan perempuan suku Dani di Wamena. Biasanya, perempuan memiliki waktu kerja lebih banyak dibanding kaum laki-laki. Mulai dari mengasuh anak, simpan ternak (babi), menggelola dan menyediakan bahan makanan.

Sementara itu, hak kebebasan perempuan untuk melakukan segala hal oleh keluarga (sang ayah), misalnya hak untuk sekolah dengan alasan perempuan tidak wajar untuk sekolah. Perempuan yang lahir sebagai pekerja atau penyedia harta bagi keluarga. Termasuk juga dalam dalam pembagian warisan, laki-laki simpanan yang diberikan dari sang ayah, sementara anak perempuan tidak memiliki hak warisan warisan atau warisan peninggalan nenek moyang.

Kondisi kehidupan masyarakat Papua seperti di atas ini tentunya tidak wajar atau dilestarikan di zaman ini. Sebagai bahan renungan bagi laki-laki Papua: "Apalah arti laki-laki Papua tanpa perempuan Papua? Sungguh tidak berarti apa-apa! Ibarat kepala tanpa badan! Atau layak dikatakan: "Hidup tanpa bernafas".

Karena itu, dalam jangka waktu ini, tentunya akan mengharapkan persiapan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan siap pakai -dalam kondisi apa pun. Maka, untuk mengamanakan waktu seperti ini, SDM perempuan Papua harus menjadi perhatian utama oleh pemerintah maupun keluarga. Sebab, keberhasilan perempuan di dunia globalisasi akan memengaruhi kemajuan mundurnya hidup bagi masyarakat Papua dalam segala aspek kehidupan.

Setelah melihat beberapa catatan di atas, perlu ada satu agenda perjuangan dalam mengangkat posisi perempuan Papua yang setara dengan kaum laki-laki Papua. Tentunya dalam berbagai aspek kehidupan.

Hal yang dilakukan oleh aktivis perempuan Papua seperti Mama Yosepha Alomang di Timika. Dengan segala kesederhanaannya, Mama Yosepha bangkit dan mempertanyakan posisi perempuan Papua sebagai orang yang merdeka dan bebas, melalui perjuangannya melawan PT Freeport Indonesia. Ia melawan Freeport yang menghancurkan seluruh ekosistem kehidupan masyakat Papua yang hidup di areal tambang perusahaan raksasa itu.
Karena itu, sudah saatnya kaum perempuan diberikan hak untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya sebagai ciptaan Tuhan. Mereka bukan lagi manusia kedua. Mereka tidak lagi selalu berada di dapur. Seberat apa pun sebuah pekerjaan yang dilakukan kaum laki-laki Papua, perempuan Papua pun sanggup melaksanakannya.

Kehidupan kaum tanpa perempuan. Dalam banyak hal, perempuan sangat dibutuhkan lelaki. Ituuran, sejarah Papua menceritakan,
perempuan Papua sebenarnya adalah "roh" yang memberikan kehidupan bagi bangsa Papua.

Oleh karena itu, pandangan sempit dari kalangan laki-laki yang inginnya diubah. Lantaran pandangan seperti itu perempuan Papua selalu dihormati kaum lemah yang tugasnya melahirkan dan menyiapkan makanan di dapur. Intinya, mereka tidak boleh lebih dari laki-laki.

Inilah gugatan perempuan Papua saat ini. Perempuan Papua menggugat tentang cara pandang dan penempatan mereka dalam budaya Papua yang sangat menyiksa dan bahkan melanggar hak asasinya itu.

Aktivis Perempuan Papua Barat.

Posting Komentar

0 Komentar